SK KMA NOMOR 10/KMA/SK/I/2015

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10/KMA/SK/I/2015 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung Tentang Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Menangani Sengketa Administrasi Pemerintahan

HUKUM ACARA ELEKTRONIK: IJTIHAD DAN ISTINBATH

HUKUM ACARA ELEKTRONIK: IJTIHAD DAN ISTINBATH Oleh : Yasmita 1 Dalam rencana pengembangan hukumacara elektronik, ijtihad dan istinbath (proses penggalian hukum dari sumber-sumber syariah) sertapengembangan hukum acara elektronik adalah: a.dalam mengembangkan hukum acara elektronik, antara lain: a.*Hukum Acara Peradilan Agama Berbasis Teknologi Informasi*.

Pembentukan dan Pembaruan Hukum Acara “Mediasi” Melalui PERMA

Pembentukan dan Pembaruan Hukum Acara “Mediasi” Melalui PERMA Dr.Mahkamah Agung yang dibentuk untuk mengisi kekosongan hukum acara dan hasil akhirnya berupa kelancaranBerdasarkan ketentuan tersebut, Perma tidak hanya mengatur perihal kekosongan hukum acara, melainkandapat melakukan pembaruan peradilan dalam penataan ulang hukum acara sepanjang berlandaskan prinsipundang-undang, hal ini karena di dalam hukum acara perdata terdapat kewajiban hakim memperdamaikan

PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PIDANA OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

Upaya hukum Peninjauan Kembali putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) merupakan upaya hukum luar biasa yang diatur di dalam UndangUndang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, (KUHAP). Berdasarkan ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, diatur bahwa “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Pasal ini dapat ditarik dua makna yaitu: pertama, tidak dapat dilakukan upaya Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Kedua, Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum yang ditujukan untuk melindungi kepentingan terhukum sehingga hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak mengajukan. Ada tiga dasar yang dapat dijadikan alasan pengajuan yaitu, pertama, apabila terdapat suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Ketiga, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Ketiga dasar dari pasal 263 ayat 2 KUHAP ini memberikan limitasi pengajuan Peninjauan Kembali yang tidak hanya secara bebas diajukan dikarenakan karakternya sebagai upaya hukum yang “luar biasa”. Oleh karenanya batasan limitatifnya diatur secara rinci baik dasar pengajuannya maupun pihak-pihak yang dapat mengajukannya.

PP Nomor 58 Tahun 2010

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

11K/AG/2001

BAHWA PEMBERIAN 1/2 BAGIAN DARI GAJI TERGUGAT KEPADA PENGGUGAT SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 8 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983, DIRUBAH DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990, MENGENAI PERATURAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL, BUKAN MERUPAKAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA. KARENA PEMBERIAN 1/2 GAJI TERGUGAT KEPADA PENGGUGAT MERUPAKAN KEPUTUSAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA

487K/PID/1982

DALAM PERKARA INI YANG HARUS DITERAPKAN ADALAH HUKUM ACARA PIDANA YANG LAMA, KARENA BAIK PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MAUPUN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI DIJATUHKAN SEBELUM KUHAP BERLAKU YAITU TANGGAL 31 DESEMBER 1981